Viewing entries tagged
bioplastic

Plastik Berteknologi Oxium: Solusi atau Masalah Baru?

Plastik Berteknologi Oxium: Solusi atau Masalah Baru?

Problem masalah sampah plastik telah memicu banyak pihak untuk turut mencari jalan keluarnya. Beberapa produsen mengembangkan ide / teknologi untuk menghasilkan produk yang dapat menekan masalah sampah plastik.

Kita sudah mendengar tentang singkong yang dijadikan bahan baku untuk pembuatan kantong plastik yang dijami dapat terurai. Selain itu ada juga kantong plastik berteknologi Oxium.

Kantong plastik ini dinilai banyak kelebihan, antara lain fungsinya sama dengan kantong kresek konvensional, harganya pun bersaing dengan kantong kresek konvensional, dan berkat teknologi oxium, plastik diklaim dapat terurai lebih cepat dibanding plastik biasa.

Anda mungkin asing dengan “teknologi oxium”, namun kemungkinan besar Anda sudah pernah menggunakan plastik oxium. Plastiknya lebih tipis dibanding kantong plastik biasa dan dipakai di minimarket, supermarket serta restoran besar di Indonesia. Jika Anda perhatikan pada kantong plastiknya tercantum logo Oxium.

Namun di balik semua kelebihan itu, keberadaan oxium masih menjadi perdebatan. Menurut penjelasan Akbar Hanif Dawam Abdullah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), plastik oxium menyimpan bahaya karena partikel kecil plastik dari oxium bisa masuk ke aliran air, tanah, termakan ikan, dan akhirnya berpindah ke tubuh manusia tanpa disadari.

Partikel kecil dari plastik atau mikroplastik ini dinilai berbahaya buat alam dan manusia. Sociopreneur Sustainable Indonesia juga mengamini hal tersebut. Maka itu Paprika Living memfasilitasi diskusi dengan harapan agar kita semua sebagai konsumen mendapat pencerahan tentang isu ini.

Diskusi menghadirkan Tommy Tjiptadjaja dari Greenhope Indonesia (technology social entreprise yang menciptakan teknologi Oxium), Shivan dari Ecorasa (produk wadah makanan berteknologi Oxium), Nada Arini serta Yuri Rumero dari Sustainable Indonesia, bertempat di Jakarta, September lalu.

Mari kita mulai dengan pemahaman yang benar. Oxium bukan Plastik.

“Oxium bukan plastik melainkan teknologi aditif oxo-biodegradable yang dapat mempercepat degradasi molekul dan kimia plastik sehingga membantu menyelesaikan akumulasi besar problem limbah plastik,” jelas Tommy.

Oxium terbuat dari mineral alam yang tersedia secara alami yang tidak berbahaya bagi tubuh. Teknologi ini terbukti telah terdegradasi melalui proses oxo-biodegradation sebagaimana diuji dan melewati ASTM 6954, memiliki sertifikat SNI Ekolabel, BPOM, dan EU/Japan Food Migration Standard. Teknologi inipun sudah dipatenkan oleh AS.

Sertifikasi keamanan inilah yang membuat Tommy percaya kalau teknologi Oxium aman untuk lingkungan dan makhluk hidup.

Berbeda dengan penjelasan Tommy, tim Sustainable Indonesia tetap menganggap Oxium bukanlah jawaban ataupun solusi untuk masalah plastik Indonesia.

“Selama belum ada tes yang membuktikan kalau plastik Oxium bisa aman walaupun sudah terurai sangat-sangat mikro, oxium bukanlah jawaban untuk masalah sampah plastik,” ujar Nada yang menganjurkan agar semua klaim tersebut dibuktikan dengan uji coba di lapangan, seperti di TPA Bantar Gebang misalnya.

Tommy merepons tanggapan Nada dengan mengatakan sangat sulit untuk melihat apakah yang diproses oleh Oxium tersebut mikroplastik apa bukan. Menurutnya apapun yang sudah bisa diproses oleh mikroba tidak bisa dikatakan sebagai mikroplastik.

Sebagai penyedia produk, Tommy melihat masalah plastik ini cukup problematik karena yang diinginkan orang adalah kondisi yang sangat ideal, yaitu “Mau murah, tapi juga ramah lingkungan, sekaligus kuat dan tahan lama.”

Karenanya, supaya ke depannya lebih baik, butuh komunikasi dan kerja sama semua elemen untuk menemukan solusi yang perfect. “Semua mengaku punya solusi yang lebih baik, tapi kita sebagai penyedia produk bisanya melihat teknologi mana yang lebih baik,” tambah Shivan.

Apakah Plastik berteknologi Oxium adalah pilihan yang lebih baik?

Meski memiliki segala kelebihan, Yuri Romero tampak enggan untuk mengiyakan. Ada kekhawatiran jika sebuah produk dianggap lebih baik, maka orang jadi cenderung menggunakannya tanpa kesadaran karena produk tersebut toh “ramah lingkungan”.

Yuri juga menanggapi, alangkah baiknya bila para pelaku bisnis juga berorientasi kepada sosial, salah satunya adalah dengan tidak hanya memproduksi produk tetapi juga manajemen sampah yang dihasilkan oleh produk tersebut.

“Ecorasa sudah membuat produk yang ramah lingkungan sejauh ini, ketika sampah dibuang sembarangan, tentu ini kembali ke perilaku manusianya, edukasi dan sistem pembuangan sampah di Indonesia yang juga harus dibenahi,” jelas Shivan.

Nah, ingin tahu lebih detail diskusi soal Oxium ini, tonton selengkapnya di link youtube berikut ini:

https://www.youtube.com/watch?v=VgZIupjHvaE

By Ester Pandiangan

Source: https://www.paprikaliving.com/plastik-berteknologi-oxium-solusi-atau-justru-masalah-baru/

Ecoplas, Kantong Plastik dari Singkong masuk Bali

Ecoplas, Kantong Plastik dari Singkong masuk Bali

Bali, 21 Juli 2019 - PT Kharisma Plastik Indo bekerja sama dengan Greenhope (PT Harapan Interaksi Swadaya) mengusung Ecoplas, kantong belanja yang terbuat dari singkong, ramah lingkungan, memiliki fungsionalitas tinggi dan mudah terurai dimakan mikroba.

Hal ini tidak hanya mendukung kebijakan Pemprov Bali yang menetapkan Pergub Bali No. 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai yang dirancang oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, yang kemudian disusul oleh Perbup Badung No. 47 tahun 2018 mengenai Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik, tetapi juga menjadi alternatif bagi pengusaha, retail, dan masyarakat Bali untuk mengurangi penggunaan plastik konvensional.

“Kami memperhatikan kebutuhan masyarakat sehingga ingin memberikan solusi terkait sampah plastik. Namun pemerintah juga harus memperhatikan kantong plastik ramah lingkungan ini agar bisa dipakai oleh masyarakat. Apalagi harganya sama dengan kantong plastik biasa sekitar Rp 30,000,- per pak atau Rp 200 per lembar”, jelas Bapak Hermanto, Direktur Utama PT. Kharisma Plastik Indo pada acara peluncuran produk ramah lingkungan tersebut.

Simak berita selengkapnya pada tautan berikut:

https://jarrakpos.com/2019/07/21/tas-plastik-berbahan-singkong-segera-gantikan-kantong-belanja-konvensional-di-bali/

INOVASI KANTONG PLASTIK RAMAH LINGKUNGAN PADA PAMERAN PRODUK INDUSTRI PLASTIK DAN KARET 2019

INOVASI KANTONG PLASTIK RAMAH LINGKUNGAN PADA PAMERAN PRODUK INDUSTRI PLASTIK DAN KARET 2019

Jakarta, 9 Juli 2019 - Kali ketiga Greenhope, PT Harapan Interaksi Swadaya ikut berpartisipasi dalam acara tahunan yang digawangi oleh Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, yaitu Pameran Produk Industri Plastik & Karet 2019.

Pada technical meeting persiapan pameran yang dilaksanakan di hari Kamis (4/7), Taufik Bawazier, Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi, menyampaikan bahwa pada pameran tahun ini, kementerian ingin berfokus pada tema Industri 4.0, yang integrate dan inovatif dari hulu ke hilir dalam inovasi-inovasi industri buatan anak negeri yang memiliki daya saing tinggi di kancah global.

Karena itu, Greenhope tak ingin ketinggalan dengan memanfaatkan momen tersebut untuk memamerkan berbagai inovasi terbarunya dalam bidang teknologi plastik mudah terurai dan ramah lingkungan. Masih dengan dua brand besarnya, Oxium (Oxo-biodegradable Plastic) dan Ecoplas (Cassava-based degradable bioplastic) dengan aplikasi-aplikasi baru dan inovatif seperti:

  1. Sedotan fleksibel yang terbuat dari singkong, tahan air, tidak merubah rasa minuman, berbau karamel (dari pati singkong) dan tentunya ramah lingkungan. Solusi praktis dan bijaksana untuk para pelaku bisnis yang ingin turut berperan aktif mendukung program pemerintah, terutama Perpres 83 tahun 2018.

  2. Cup Liner pada paper cup dengan teknologi Oxium yang sudah dipasarkan secara massal di Singapura dan berbagai negara di Asia Tenggara. Aman tersentuh makanan, pasti terurai dalam 2 tahun dan dapat didaur ulang.

  3. Ecorasa, Kemasan F&B ramah lingkungan yang sudah banyak dipakai oleh berbagai catering kenamaan di Indonesia, restoran dan berbagai kafe juga kedai kopi kekinian. Menjadi kekinian melalui gaya hidup sehat dan ramah lingkungan kini semakin mudah.

  4. Kantong Kurban Mudah Terurai dengan teknologi Oxium. Tidak hanya berkurban membawa kebaikan untuk umat, pun kantong plastik ramah lingkungan yang digunakan membawa kebaikan untuk bumi. Berkurban untuk umat dan lingkungan tidak pernah semudah ini.

  5. Dan masih banyak lagi produk-produk inovatif lainnya.

Penasaran seperti apa produk ramah lingkungan itu? Atau memang sedang mencari produk-produk mudah terurai tersebut? Ingin tahu juga mengenai harga-harga spesial yang ditawarkan? Ayo kunjungi booth Greenhope di Pameran Produksi Industri Plastik dan Karet, 9 - 12 Juli 2019 di Booth No. 17, Plasa Perindustrian, Gedung Kementerian Perindustrian, Jalan Gatot Subroto.

CEO Greenhope Merespon Berbagai Regulasi Pelarangan Plastik di Indonesia

CEO Greenhope Merespon Berbagai Regulasi Pelarangan Plastik di Indonesia

Jakarta, 8 Januari 2018 - Greenhope sebagai pioner produsen teknologi ramah lingkungan mudah terurai buatan 100% putra Indonesia yang sudah diuji secara internasional dan sudah dipatenkan baik di Amerika maupun Singapura, dengan dua brandnya, Ecoplas (plastik yang terbuat dari singkong) dan Oxium (aditif pengurai plastik konvensional), sangat memahami betapa regulasi-regulasi mengenai pelarangan penggunaan plastik kini cukup membuat resah berbagai kalangan.  Industri saat ini kalang kabut menentukan langkah apa yang seharusnya dilakukan, masyarakat luas juga bingung menentukan alternatif pengganti plastik yang bisa digunakan dan tersedia di pasaran. Industri plastik ramah lingkungan pun tak luput dibuat bingung dengan berbagai pelarangan yang muncul di berbagai daerah dan tidak selaras, karena setiap daerah mendadak menjadi “ahli plastik”, “ahli teknologi”, “ahli uji”, dlsb. Dan mendefinisikan standar ramah lingkungan masing-masing.  Bisa dibayangkan dampaknya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, terhadap usaha-usaha, roda perekonomian, standar operating procedures (SOP2) yang lintas daerah, bisa macet semua.

Menanggapi hal tersebut, CEO Greenhope (PT Harapan Interaksi Swadaya) Bapak Tommy Tjiptadjaja, menyatakan bahwa sesungguhnya pihaknya turut mengapresiasi langkah-langkah yang diambil oleh berbagai pihak dalam menanggulangi krisis sampah plastik saat ini karena sangat selaras dengan misi Greenhope untuk membuat produksi dan konsumsi masyarakat lebih berkelanjutan (United Nation Sustainable Development Goal No 12). Beliau juga sangat berterima kasih terhadap berbagai pihak yang sudah konsisten bermigrasi dari plastik konvensional ke plastik ramah lingkungan, terutama Ecoplas dan Oxium.  Memang dinamika dunia plastik saat ini sedang sangat bergejolak, sedang transisi dari plastik konvensional ke berbagai wujud Reduce, Reuse, Recycle, dan Return to Earth (menangani end of life nya sampah tersebut). Setiap “R” itu penting perannya agar dampaknya riil, significant, bersatu padu. Maka tidak heran bila hal tersebut menimbulkan kebingungan di berbagai kalangan, tak hanya industri secara umum, masyarakat awam, bahkan industri plastik ramah lingkungan itu sendiri.

Namun begitu beliau percaya bahwa pengguna teknologi Ecoplas dan Oxium sesungguhnya sudah berada di jalur yang benar dan tepat. Ke depannya teknologi ini akan menjadi solusi yang sangat relevan dan berkelanjutan dengan dilandasi berbagai hal berikut:

  1. Perpres 83 tahun 2018 yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo. Beliau membentuk tim yang dikoordinasi dan diketuai oleh Menteri Kemenko Maritim dan ketua harian Menteri KLHK, memberi mandat agar segera menyelesaikan permasalahan sampah plastik yang masuk ke laut. Tim tersebut membawahi inisiatif dari 16 kementerian dengan salah satu fokusnya yaitu peningkatan industri degradable dan daur ulang. Pemerintah dimandatkan menaikkan dan mendukung industri tersebut baik dari hulu maupun hilir. Jadi industri-industri tersebut harus didorong lebih lagi pertumbuhannya baik di tingkat teknologi maupun di tingkat barang jadi (finished goods).

  2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sendiri sesungguhnya sudah mengesahkan standar SNI Ekolabel Tipe 1 7188.7:2016 dan Ekolabel Tipe 2 Swadeklarasi untuk Ecoplas dan Oxium, melalui proses yang sangat panjang dan relevan dengan melibatkan berbagai pihak yang kredibel seperti LIPI, doktor2 pemegang paten biodegradable lulusan Jepang maupun yang sekolah beasiswa di Jepang, juga berbagai pihak independen. Secara menyeluruh, masing-masing pihak sudah mereview kedua teknologi tersebut dengan standar-standar internasional yang relevan dan menyatakan bahwa Ecoplas dan Oxium telah lolos uji.

  3. Teknologi2 yang sudah lolos uji dalam negeri tersebut seperti Ecoplas, Oxium, dan juga ada teknologi2 lain juga yang sudah lolos, masing-masing sudah lulus berbagai uji teknis standar internasional yang intensif, menyeluruh, seperti ASTM 6954, ASTM 6866, ASTM 5208, ASTM G21, uji migrasi standar BPOM, FDA, Jepang, dlsb. lainnya.  Jadi semua tes2 ini sangat serius sifatnya, teruji dan terbukti.

“Menurut pandangan kami, kami percaya nanti akan ada sinkronisasi kebijakan antara daerah dengan pusat. Karena kebijakan-kebijakan yang saat ini terbit memiliki definisi ramah lingkungan yang berbeda satu sama lain dan tidak holistik. Penterjemahan definisi ramah lingkungan yang holistik seharusnya melihat berbagai aspek pendukung, seperti life cycle analysis, kemudian konsumsi energi, bahkan aspek mudah terurainya pun juga perlu ditinjau. Mudah terurai pun harus dijui dengan tes dan alat yang tepat dengan standar pengujian internasional yang tepat pula, bukan hanya uji di jalanan oleh awam saja. Analisa mikroplastik hanya bisa dilakukan dengan standar uji dan alat yang benar.  Kami mengajak agar bersama-sama menjadi lebih hijau tetapi jangan overreact”, begitu beliau menjelaskan.

“Untuk itu teman-teman sudah ada di jalur yang benar, intensi yang benar, dengan landasan hukum yang benar, sehingga kalau ada pihak-pihak yang masih bingung bisa dijelaskan dengan keterangan-keterangan tersebut.  Mungkin di jangka pendek ini masih ada kebingungan, tetapi kita yakin pada ujungnya akal sehat, prinsip kehati2an, standar Negara Kesatuan agar roda perekonomian lintas daerah jalan terus, akan menang. Kita semua harus meningkatkan utamanya penanganan sampah lebih baik lagi, perilaku masyarakat harus ditingkatkan, pemakaian plastik perlu dikurangi (Reduce), botol2 bisa pakai ulang (Reuse), daur ulang ditingkatkan (Recycle), dan pemakaian plastik harus lebih mudah terurai (Return to Earth).  Jika semuanya dilakukan bersatu padu dan jangan tumpang tindih, kiranya kita akan bersama mencapai Indonesia yang lebih hijau tetapi juga sejahtera”, tutupnya.

Greenhope Selected for Unreasonable Goals Program for Dedication to Addressing the UN’s Sustainable Development Goals by 2030

Greenhope Selected for Unreasonable Goals Program for Dedication to Addressing the UN’s Sustainable Development Goals by 2030

December 4, 2018 – After a rigorous selection process involving hundreds of world-class companies from across the world, Tommy Tjiptadjaja from Greenhope, Indonesia was chosen to join fifteen other ventures in the second annual Unreasonable Goals program that ran in November 2018.

On September 25, 2015, leaders from 193 countries came together at the United Nations and adopted a set of 17 Sustainable Development Goals (SDGs) that include ending hunger, conserving the oceans, ensuring gender equality, and providing access to clean energy for all. Unreasonable Goals is a partnership between governments, multinationals, and Unreasonable Group with the singular focus of accelerating our ability to achieve these noteworthy goals by leveraging market forces.

The two-week program is designed to bring together 16 highly scalable entrepreneurial solutions, each uniquely positioned to solve at least one of the SDGs. The 17 th goal represents the importance of public-private partnerships to achieve the UN’s agenda, with the Secretary’s Office of Global Partnerships at the U.S. Department of State as the founding partner of this initiative in 2017. The cornerstone partners this year include Johnson & Johnson and Lottery.com.

Greenhope is a technology social enterprise with the mission to help the world convert toward more sustainable consumption and production through technologies in sustainable plastics and agriculture. Ecoplas, its patented cassava/tapioca-based degradable bioplastic, is sourced from farmer cooperatives across Indonesia who receive a ‘Fair for Life’ certified trade price for their work. Ecoplas has been used to make shopping bags, landfill covers, garbage bags, dog waste bags, packaging, and more. Oxium is a US-patented additive that speeds up the oxidation and biodegradation of plastic, rapidly shortening its molecular and chemical chains and making ordinary plastics degrade within two years into CO2, H2O, and biomass.

Greenhope’s 100% organic product, Komposku, rejuvenates contaminated soil and brings back its natural fertility to ensure better and sustainable yields and income for farmers. Greenhope actively collaborates with various parties across local and national governments, the private sector (manufacturers, brand owners), and NGOs in ten countries around the world (and expanding rapidly) to deliver systemic changes for a better and more sustainable world.

During the intensive program, Greenhope received mentorship and advice from business experts and serial entrepreneurs, including Tom Chi, former head of experience at Google X; Betty Hudson, President at Hudson & Associates and former Chief Communications Officer at National Geographic; and Hunter Lovins, TIME Magazine Hero of the Planet and founder of Natural Capitalism Solutions.

The program took place in Connecticut and included a curated funder’s gathering, where Greenhope showcased our innovation. “As an idealistic company trying to solve one of the world’s most challenging problems, it can feel lonely at times. Through Unreasonable Goals community of leaders and mentors, I learnt so much, gained many new friends, was energized and inspired, introduced to many new networks, and also contributed my expertise as part of the community. It was one of the life changing experience in my life, personally and professionally. Going forward, I fully expect to deliver greater positive impact together, enabled to a large extent by this program”, Tommy reflected.

Hosted by a different country every year, the partnership will run annually until 2030. “After running the initiative for 13 years, we will have worked with over 200 of the fastest growing and most promising global entrepreneurs of our time,” says Daniel Epstein, the founder and CEO of Unreasonable Group. “We will have partnered with several national governments and dozens of multinational corporations and organizations. It’s this collective global network that will direct billions of dollars to the world’s most pressing problems and impact billions of lives.”

Cumulatively, the 16 companies that participated in last year’s inaugural Unreasonable Goals program have raised over $174M USD, generated revenue of over $143M, and are already positively impacting the lives of nearly 95 million people in over 75 countries.

To learn more about this initiative and the ventures, visit https://unreasonable-goals.com/.

About the Companies

First Access (Goal #1: No Poverty) is creating the smart data platform with configurable mobile apps for lenders to digitize, automate, and reach any customer, anywhere.

ALGAMA (Goal #2: Zero Hunger) is harnessing the unique potential of micro-algae to make food that is sustainable and nutritious for a rapidly growing global population.

Copper3D (Goal #3: Good Health and Well-Being) is setting a new standard in the 3D printing industry by developing antibacterial nanocomposites that fight bacteria for printed prosthetics.

BRCK (Goal #4: Quality Education) is building the tools for connectivity to bring Africans online for free, securing over 250,000 users of its public WiFi platform in just a few months.

Bloomlife (Goal #5: Gender Equality) is designing the future of prenatal care with the most advanced combination of technology, science, and medical expertise, serving over 4,000 moms to date.

Cambridge Industries (Goal #6: Clean Water and Sanitation & Goal #7: Affordable and Clean Energy) is designing, constructing, and operating extremely cost-competitive and scalable waste-to-energy facilities customized for Sub-Saharan Africa.

LabourNet (Goal #8: Decent Work and Economic Growth) is improving worker skills and productivity in the informal sector through its vocational training programs, skilling over 700,000 people in India.

Ambercycle (Goal #9: Industry, Innovation, and Infrastructure) is transforming millions of tons of waste apparel into raw material for textile production, contributing to a fully circular supply chain for clothing by 2030.

Lidya (Goal #10: Reduced Inequalities) is building the financial services platform of the future for Africans worldwide, with over 100,000 businesses signed up for their service.

Roots Studio (Goal #11: Sustainable Cities and Communities) is digitizing the endangered work and stories of traditional artists from remote regions around the world into an online library for licensing, with over 2,000 artists to date.

Greenhope (Goal #12: Responsible Production and Consumption) is making plastics green by using agritechnology to make bio-based and degradable plastic alternatives, with its products in over ten countries and counting.

Veerhouse Voda (Goal #13: Climate Action) is providing environmentally sustainable and disaster resistant buildings to the Caribbean 5x faster than traditional methods.

Catalina Sea Ranch (Goal #14: Life Below Water) is creating the first aquaculture facility in U.S. federal waters to deliver fresh, sustainable, regenerative protein to feed the world.

Lingrove (Goal #15: Life on Land) is making wood without trees and creating high-performance and eco-friendly natural fiber materials to bring lighter, stronger, and better products to market.

IN-Code Technologies (Goal #16: Peace, Justice, and Strong Institutions) is countering illicit trade and creating a safer world by eliminating counterfeit markets with proven, invisible, anti- counterfeit marker technology.

Hala Systems (Goal #16: Peace, Justice, and Strong Institutions) is developing innovative technology solutions to reduce harm, increase security, and stabilize communities in some of the toughest places on Earth.

 

About Unreasonable Group

Unreasonable’s mission is to drive resources to and breakdown barriers for entrepreneurs solving key global challenges (i.e. ensuring renewable energy reaches the 1.3 billion people currently without electricity, reimagining the future of healthcare, or addressing the global unemployment crisis). Through running worldwide accelerator programs, a globally oriented private equity fund, an extensive network of serial business leaders as mentors, and advanced storytelling and media activities, Unreasonable is designed to exclusively support entrepreneurs positioned to solve society's toughest problems. For further information about Unreasonable, please visit our website, http://www.unreasonablegroup.com.

 

Manioc to the Rescue in the Fight Against Plastic Pollution

1 Comment

Manioc to the Rescue in the Fight Against Plastic Pollution

Plastic trash increasingly pollutes rivers and fills landfills. In Jakarta, two men are on a mission to offer alternatives that could have an impact on the environment and the economy, not just in Indonesia.

The stench is unbearable. The midday heat is beating down on the landfill near the Indonesian town of Tangerang in the greater Jakarta area. Huge cockroaches scurry across the 35-hectare (86.4-acre) site and new trucks arrive every minute, bringing tons of new garbage. Excavators pile it higher and higher. Between them, several hundred trash collectors toil under the merciless blazing sun. They look for plastic bags and plastic parts they can resell.

Sugianto Tandio shakes his head as he looks at the huge amount of plastic trash. "Each day, about 1,500 tons of solid waste comes here and 15 to 20 percent of it is plastic", says the engineer.

But conventional plastic takes an estimated 500 to 1,000 years to decompose. The plastic trash being piled up here in Tangerang will remain an environmental problem for many generations to come.

Plastic in fish

"Even today, a third of the fish in the ocean contains microplastics. Just imagine: every time you eat seafood it's like you have three fish in front of you and you have to decide, which fish you want to eat and which one you should avoid." It is not a problem we can leave to our children to solve, Tommy Tjiptadjaja thinks. "It is really all up to us. Our generation is the generation that has to take action."

Indonesians collect garbage in Tangerang as the nation's environmental problems are bound to affect many generations

Together with Tandio, the economist, who got his education in Chicago, has founded Greenhope, a company that develops alternatives to conventional plastic. One of their products is called "Ecoplas." It looks like plastic, but won't take 500 years to decompose. "It is a biodegradable polymer made from tapioca," Tandio explains.

He has spent years developing this product and holds many patents associated with it. He proudly presents a plastic bag, plastic cutlery and even a bag developed specifically for the United States. It's meant for collecting your dog poop. All of it biodegradable.

Together, the two entrepreneurs won the Schwab Foundation's "Social Entrepreneur Award" in 2013, bringing international recognition to their work. Tapioka is made from dried manioc root, also known as cassava. The plant is particularly popular in many tropical countries. Nigeria, Thailand, Brazil, Indonesia and Ghana are among the biggest producers. Tandio is convinced that using it for a plastic replacement could also be an opportunity for additional income for many small-scale farmers.

Paying with plastic takes on a new meaning in Indonesia

Plastic bag ban

As more and more countries are banning plastic bags or putting fees on their use, the interest in possible alternatives has grown significantly. Tjiptadjaja and Tandio are being invited to conferences and background talks worldwide. One of them just attended the big Our Ocean Conference in Bali, the other met for talks with the government of Malaysia. Kenya and some Latin American countries have voiced an interest as well.

Indonesia wants to ban plastic bags made from oil no later than 2020. Even now, Greehope's biodegradable alternatives are available in many Indonesian supermarkets and stores. "Ecoplas — Cassava-based degradable plastic" is printed on the bags, which, at first glance, are almost indistinguishable from conventional plastic bags. Greenhope already has a staff of 50 and everything points towards continued growth.

However, production is comparatively expensive. A biodegradable plastic bag costs almost twice as much to produce as a conventional one. As a result, consumers think twice before shelling out more for such a plastic bag.

Cheap alternatives

Tjiptadjaja and Tandio work on reducing the cost as much as possible and are expanding their small research and development department. One of their solutions is an additive they call  "OXIUM." Adding it to conventional plastic has the effect that the material breaks down after only 2 years.

The plastic is still made from oil instead of renewable organic raw materials but is biodegradable and the cost of plastic that contains OXIUM is only about 2 to 5 percent higher than that of conventional plastic. It's not an ideal solution but an improvement. Especially in poorer countries, the use of OXIUM could be a cheap alternative, say the entrepreneurs. Greenhope already sells it to South Africa, Malaysia and other countries.

Stability and safety

For landfills like the one in Tangerang, Greenhope offers large plastic tarps made with OXIUM. They could stem the horrible smells the people in surrounding towns and villages are exposed to and stabilize the growing mountain of trash at the same time. That is important because the high piles collapse occasionally.

But so far, Greenhope hasn't been able to sell TPA, the company that runs the landfill, more than two tarps a year. Tandio shakes his head and looks at the tall, shaky mountain of trash. The new trash should really be covered with tarps every day, he says, but TPA just can't afford to spend so much money.

Date: 05 November 2018

Author: Manuela Kasper-Claridge

Original Source: https://www.dw.com/en/manioc-to-the-rescue-in-the-fight-against-plastic-pollution/a-46125335

1 Comment