Viewing entries tagged
Oxium

Empowering Social and Environmental Awareness Through Green Business Concepting

Comment

Empowering Social and Environmental Awareness Through Green Business Concepting

Unquestionably, climate change is today’s biggest environmental and humanitarian crisis. The progress elevation of human’s life quality and capital, on the contrary, bring substantial negative impacts to the environment. The rise of the earth’s surface temperature as caused by human activities prompts certain natural disasters; forest fire, extreme drought, floods, etc., in the shortest timelines the planet had never experienced before. This is where sustainable business can focus on.

Comment

Plastik Berteknologi Oxium: Solusi atau Masalah Baru?

Plastik Berteknologi Oxium: Solusi atau Masalah Baru?

Problem masalah sampah plastik telah memicu banyak pihak untuk turut mencari jalan keluarnya. Beberapa produsen mengembangkan ide / teknologi untuk menghasilkan produk yang dapat menekan masalah sampah plastik.

Kita sudah mendengar tentang singkong yang dijadikan bahan baku untuk pembuatan kantong plastik yang dijami dapat terurai. Selain itu ada juga kantong plastik berteknologi Oxium.

Kantong plastik ini dinilai banyak kelebihan, antara lain fungsinya sama dengan kantong kresek konvensional, harganya pun bersaing dengan kantong kresek konvensional, dan berkat teknologi oxium, plastik diklaim dapat terurai lebih cepat dibanding plastik biasa.

Anda mungkin asing dengan “teknologi oxium”, namun kemungkinan besar Anda sudah pernah menggunakan plastik oxium. Plastiknya lebih tipis dibanding kantong plastik biasa dan dipakai di minimarket, supermarket serta restoran besar di Indonesia. Jika Anda perhatikan pada kantong plastiknya tercantum logo Oxium.

Namun di balik semua kelebihan itu, keberadaan oxium masih menjadi perdebatan. Menurut penjelasan Akbar Hanif Dawam Abdullah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), plastik oxium menyimpan bahaya karena partikel kecil plastik dari oxium bisa masuk ke aliran air, tanah, termakan ikan, dan akhirnya berpindah ke tubuh manusia tanpa disadari.

Partikel kecil dari plastik atau mikroplastik ini dinilai berbahaya buat alam dan manusia. Sociopreneur Sustainable Indonesia juga mengamini hal tersebut. Maka itu Paprika Living memfasilitasi diskusi dengan harapan agar kita semua sebagai konsumen mendapat pencerahan tentang isu ini.

Diskusi menghadirkan Tommy Tjiptadjaja dari Greenhope Indonesia (technology social entreprise yang menciptakan teknologi Oxium), Shivan dari Ecorasa (produk wadah makanan berteknologi Oxium), Nada Arini serta Yuri Rumero dari Sustainable Indonesia, bertempat di Jakarta, September lalu.

Mari kita mulai dengan pemahaman yang benar. Oxium bukan Plastik.

“Oxium bukan plastik melainkan teknologi aditif oxo-biodegradable yang dapat mempercepat degradasi molekul dan kimia plastik sehingga membantu menyelesaikan akumulasi besar problem limbah plastik,” jelas Tommy.

Oxium terbuat dari mineral alam yang tersedia secara alami yang tidak berbahaya bagi tubuh. Teknologi ini terbukti telah terdegradasi melalui proses oxo-biodegradation sebagaimana diuji dan melewati ASTM 6954, memiliki sertifikat SNI Ekolabel, BPOM, dan EU/Japan Food Migration Standard. Teknologi inipun sudah dipatenkan oleh AS.

Sertifikasi keamanan inilah yang membuat Tommy percaya kalau teknologi Oxium aman untuk lingkungan dan makhluk hidup.

Berbeda dengan penjelasan Tommy, tim Sustainable Indonesia tetap menganggap Oxium bukanlah jawaban ataupun solusi untuk masalah plastik Indonesia.

“Selama belum ada tes yang membuktikan kalau plastik Oxium bisa aman walaupun sudah terurai sangat-sangat mikro, oxium bukanlah jawaban untuk masalah sampah plastik,” ujar Nada yang menganjurkan agar semua klaim tersebut dibuktikan dengan uji coba di lapangan, seperti di TPA Bantar Gebang misalnya.

Tommy merepons tanggapan Nada dengan mengatakan sangat sulit untuk melihat apakah yang diproses oleh Oxium tersebut mikroplastik apa bukan. Menurutnya apapun yang sudah bisa diproses oleh mikroba tidak bisa dikatakan sebagai mikroplastik.

Sebagai penyedia produk, Tommy melihat masalah plastik ini cukup problematik karena yang diinginkan orang adalah kondisi yang sangat ideal, yaitu “Mau murah, tapi juga ramah lingkungan, sekaligus kuat dan tahan lama.”

Karenanya, supaya ke depannya lebih baik, butuh komunikasi dan kerja sama semua elemen untuk menemukan solusi yang perfect. “Semua mengaku punya solusi yang lebih baik, tapi kita sebagai penyedia produk bisanya melihat teknologi mana yang lebih baik,” tambah Shivan.

Apakah Plastik berteknologi Oxium adalah pilihan yang lebih baik?

Meski memiliki segala kelebihan, Yuri Romero tampak enggan untuk mengiyakan. Ada kekhawatiran jika sebuah produk dianggap lebih baik, maka orang jadi cenderung menggunakannya tanpa kesadaran karena produk tersebut toh “ramah lingkungan”.

Yuri juga menanggapi, alangkah baiknya bila para pelaku bisnis juga berorientasi kepada sosial, salah satunya adalah dengan tidak hanya memproduksi produk tetapi juga manajemen sampah yang dihasilkan oleh produk tersebut.

“Ecorasa sudah membuat produk yang ramah lingkungan sejauh ini, ketika sampah dibuang sembarangan, tentu ini kembali ke perilaku manusianya, edukasi dan sistem pembuangan sampah di Indonesia yang juga harus dibenahi,” jelas Shivan.

Nah, ingin tahu lebih detail diskusi soal Oxium ini, tonton selengkapnya di link youtube berikut ini:

https://www.youtube.com/watch?v=VgZIupjHvaE

By Ester Pandiangan

Source: https://www.paprikaliving.com/plastik-berteknologi-oxium-solusi-atau-justru-masalah-baru/

Greenhope Beri Klarifikasi Viral Kantong Plastik Kurban Oxium

Greenhope Beri Klarifikasi Viral Kantong Plastik Kurban Oxium

Menanggapi kesimpang-siuran berita viral mengenai Kantong Kurban Oxium, kami, Greenhope (PT Harapan Interaksi Swadaya) selaku produsen teknologi, paten, dan merk dagang Oxium ingin menyampaikan bahwa hal ini terjadi karena ketidak-sengaja-an pihak penjual independen/ reseller kami yang salah menyebutkan teknologi Oxium, plastik oxo-biodegradable sebagai Ecoplas, plastik yang terbuat dari singkong.

Kami menyadari hal ini menimbulkan kebingungan di masyarakat, untuk itu kami ingin menyampaikan beberapa klarifikasi sebagai berikut:

1) Bahwa memang benar Oxium (plastik oxo-biodegradable) bukan plastik yang terbuat dari singkong, melainkan aditif yang mampu mengurai plastik dalam waktu 2-5 tahun yang ditandai dengan berkurangnya bobot molekul plastik dan berubah menjadi H2O, CO2 dan biomassa yang sudah diuji menggunakan standar uji ASTM D 6954, D 5208 dan D 3826.

2) Oxium sudah tersertifikasi SNI Ekolabel Ramah Lingkungan 7188:7, Ekolabel Swadeklarasi Mudah Terurai yang dikeluarkan oleh KLHK, Sertifikasi Halal, Ekolabel Singapura hingga Ekolabel Malaysia.

3) Oxium juga sudah mendapat Paten Indonesia, Paten Amerika, dan Paten Singapura.

4) Oxium sudah banyak diteliti oleh peneliti independen dan kredibel baik nasional seperti ITB, UNESA, dll, maupun internasional yang jurnal-jurnal ilmiahnya dapat diakses secara online juga.

Untuk itu teknologi Oxium merupakan teknologi plastik oxo-degradable ramah lingkungan mudah terurai yang sudah teruji dan tersertifikasi yang tidak perlu diragukan lagi keabsahannya. Semoga bisa menjawab keresahan-keresahan di masyarakat dan dapat diluruskan agar tidak menjadi hoax semata.

Mari sama-sama mengawasi dan mengontrol penyebaran berita agar tidak berujung hoax demi Indonesia yang lebih baik.

Salam hijau,

Greenhope

INOVASI KANTONG PLASTIK RAMAH LINGKUNGAN PADA PAMERAN PRODUK INDUSTRI PLASTIK DAN KARET 2019

INOVASI KANTONG PLASTIK RAMAH LINGKUNGAN PADA PAMERAN PRODUK INDUSTRI PLASTIK DAN KARET 2019

Jakarta, 9 Juli 2019 - Kali ketiga Greenhope, PT Harapan Interaksi Swadaya ikut berpartisipasi dalam acara tahunan yang digawangi oleh Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, yaitu Pameran Produk Industri Plastik & Karet 2019.

Pada technical meeting persiapan pameran yang dilaksanakan di hari Kamis (4/7), Taufik Bawazier, Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi, menyampaikan bahwa pada pameran tahun ini, kementerian ingin berfokus pada tema Industri 4.0, yang integrate dan inovatif dari hulu ke hilir dalam inovasi-inovasi industri buatan anak negeri yang memiliki daya saing tinggi di kancah global.

Karena itu, Greenhope tak ingin ketinggalan dengan memanfaatkan momen tersebut untuk memamerkan berbagai inovasi terbarunya dalam bidang teknologi plastik mudah terurai dan ramah lingkungan. Masih dengan dua brand besarnya, Oxium (Oxo-biodegradable Plastic) dan Ecoplas (Cassava-based degradable bioplastic) dengan aplikasi-aplikasi baru dan inovatif seperti:

  1. Sedotan fleksibel yang terbuat dari singkong, tahan air, tidak merubah rasa minuman, berbau karamel (dari pati singkong) dan tentunya ramah lingkungan. Solusi praktis dan bijaksana untuk para pelaku bisnis yang ingin turut berperan aktif mendukung program pemerintah, terutama Perpres 83 tahun 2018.

  2. Cup Liner pada paper cup dengan teknologi Oxium yang sudah dipasarkan secara massal di Singapura dan berbagai negara di Asia Tenggara. Aman tersentuh makanan, pasti terurai dalam 2 tahun dan dapat didaur ulang.

  3. Ecorasa, Kemasan F&B ramah lingkungan yang sudah banyak dipakai oleh berbagai catering kenamaan di Indonesia, restoran dan berbagai kafe juga kedai kopi kekinian. Menjadi kekinian melalui gaya hidup sehat dan ramah lingkungan kini semakin mudah.

  4. Kantong Kurban Mudah Terurai dengan teknologi Oxium. Tidak hanya berkurban membawa kebaikan untuk umat, pun kantong plastik ramah lingkungan yang digunakan membawa kebaikan untuk bumi. Berkurban untuk umat dan lingkungan tidak pernah semudah ini.

  5. Dan masih banyak lagi produk-produk inovatif lainnya.

Penasaran seperti apa produk ramah lingkungan itu? Atau memang sedang mencari produk-produk mudah terurai tersebut? Ingin tahu juga mengenai harga-harga spesial yang ditawarkan? Ayo kunjungi booth Greenhope di Pameran Produksi Industri Plastik dan Karet, 9 - 12 Juli 2019 di Booth No. 17, Plasa Perindustrian, Gedung Kementerian Perindustrian, Jalan Gatot Subroto.

CEO Greenhope Merespon Berbagai Regulasi Pelarangan Plastik di Indonesia

CEO Greenhope Merespon Berbagai Regulasi Pelarangan Plastik di Indonesia

Jakarta, 8 Januari 2018 - Greenhope sebagai pioner produsen teknologi ramah lingkungan mudah terurai buatan 100% putra Indonesia yang sudah diuji secara internasional dan sudah dipatenkan baik di Amerika maupun Singapura, dengan dua brandnya, Ecoplas (plastik yang terbuat dari singkong) dan Oxium (aditif pengurai plastik konvensional), sangat memahami betapa regulasi-regulasi mengenai pelarangan penggunaan plastik kini cukup membuat resah berbagai kalangan.  Industri saat ini kalang kabut menentukan langkah apa yang seharusnya dilakukan, masyarakat luas juga bingung menentukan alternatif pengganti plastik yang bisa digunakan dan tersedia di pasaran. Industri plastik ramah lingkungan pun tak luput dibuat bingung dengan berbagai pelarangan yang muncul di berbagai daerah dan tidak selaras, karena setiap daerah mendadak menjadi “ahli plastik”, “ahli teknologi”, “ahli uji”, dlsb. Dan mendefinisikan standar ramah lingkungan masing-masing.  Bisa dibayangkan dampaknya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, terhadap usaha-usaha, roda perekonomian, standar operating procedures (SOP2) yang lintas daerah, bisa macet semua.

Menanggapi hal tersebut, CEO Greenhope (PT Harapan Interaksi Swadaya) Bapak Tommy Tjiptadjaja, menyatakan bahwa sesungguhnya pihaknya turut mengapresiasi langkah-langkah yang diambil oleh berbagai pihak dalam menanggulangi krisis sampah plastik saat ini karena sangat selaras dengan misi Greenhope untuk membuat produksi dan konsumsi masyarakat lebih berkelanjutan (United Nation Sustainable Development Goal No 12). Beliau juga sangat berterima kasih terhadap berbagai pihak yang sudah konsisten bermigrasi dari plastik konvensional ke plastik ramah lingkungan, terutama Ecoplas dan Oxium.  Memang dinamika dunia plastik saat ini sedang sangat bergejolak, sedang transisi dari plastik konvensional ke berbagai wujud Reduce, Reuse, Recycle, dan Return to Earth (menangani end of life nya sampah tersebut). Setiap “R” itu penting perannya agar dampaknya riil, significant, bersatu padu. Maka tidak heran bila hal tersebut menimbulkan kebingungan di berbagai kalangan, tak hanya industri secara umum, masyarakat awam, bahkan industri plastik ramah lingkungan itu sendiri.

Namun begitu beliau percaya bahwa pengguna teknologi Ecoplas dan Oxium sesungguhnya sudah berada di jalur yang benar dan tepat. Ke depannya teknologi ini akan menjadi solusi yang sangat relevan dan berkelanjutan dengan dilandasi berbagai hal berikut:

  1. Perpres 83 tahun 2018 yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo. Beliau membentuk tim yang dikoordinasi dan diketuai oleh Menteri Kemenko Maritim dan ketua harian Menteri KLHK, memberi mandat agar segera menyelesaikan permasalahan sampah plastik yang masuk ke laut. Tim tersebut membawahi inisiatif dari 16 kementerian dengan salah satu fokusnya yaitu peningkatan industri degradable dan daur ulang. Pemerintah dimandatkan menaikkan dan mendukung industri tersebut baik dari hulu maupun hilir. Jadi industri-industri tersebut harus didorong lebih lagi pertumbuhannya baik di tingkat teknologi maupun di tingkat barang jadi (finished goods).

  2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sendiri sesungguhnya sudah mengesahkan standar SNI Ekolabel Tipe 1 7188.7:2016 dan Ekolabel Tipe 2 Swadeklarasi untuk Ecoplas dan Oxium, melalui proses yang sangat panjang dan relevan dengan melibatkan berbagai pihak yang kredibel seperti LIPI, doktor2 pemegang paten biodegradable lulusan Jepang maupun yang sekolah beasiswa di Jepang, juga berbagai pihak independen. Secara menyeluruh, masing-masing pihak sudah mereview kedua teknologi tersebut dengan standar-standar internasional yang relevan dan menyatakan bahwa Ecoplas dan Oxium telah lolos uji.

  3. Teknologi2 yang sudah lolos uji dalam negeri tersebut seperti Ecoplas, Oxium, dan juga ada teknologi2 lain juga yang sudah lolos, masing-masing sudah lulus berbagai uji teknis standar internasional yang intensif, menyeluruh, seperti ASTM 6954, ASTM 6866, ASTM 5208, ASTM G21, uji migrasi standar BPOM, FDA, Jepang, dlsb. lainnya.  Jadi semua tes2 ini sangat serius sifatnya, teruji dan terbukti.

“Menurut pandangan kami, kami percaya nanti akan ada sinkronisasi kebijakan antara daerah dengan pusat. Karena kebijakan-kebijakan yang saat ini terbit memiliki definisi ramah lingkungan yang berbeda satu sama lain dan tidak holistik. Penterjemahan definisi ramah lingkungan yang holistik seharusnya melihat berbagai aspek pendukung, seperti life cycle analysis, kemudian konsumsi energi, bahkan aspek mudah terurainya pun juga perlu ditinjau. Mudah terurai pun harus dijui dengan tes dan alat yang tepat dengan standar pengujian internasional yang tepat pula, bukan hanya uji di jalanan oleh awam saja. Analisa mikroplastik hanya bisa dilakukan dengan standar uji dan alat yang benar.  Kami mengajak agar bersama-sama menjadi lebih hijau tetapi jangan overreact”, begitu beliau menjelaskan.

“Untuk itu teman-teman sudah ada di jalur yang benar, intensi yang benar, dengan landasan hukum yang benar, sehingga kalau ada pihak-pihak yang masih bingung bisa dijelaskan dengan keterangan-keterangan tersebut.  Mungkin di jangka pendek ini masih ada kebingungan, tetapi kita yakin pada ujungnya akal sehat, prinsip kehati2an, standar Negara Kesatuan agar roda perekonomian lintas daerah jalan terus, akan menang. Kita semua harus meningkatkan utamanya penanganan sampah lebih baik lagi, perilaku masyarakat harus ditingkatkan, pemakaian plastik perlu dikurangi (Reduce), botol2 bisa pakai ulang (Reuse), daur ulang ditingkatkan (Recycle), dan pemakaian plastik harus lebih mudah terurai (Return to Earth).  Jika semuanya dilakukan bersatu padu dan jangan tumpang tindih, kiranya kita akan bersama mencapai Indonesia yang lebih hijau tetapi juga sejahtera”, tutupnya.

ecorasa: Sahabat Alam dan Makanan

ecorasa: Sahabat Alam dan Makanan

Beberapa tahun terakhir publik mulai diramaikan dengan berbagai berita dan kampanye mengenai gaya hidup zero-waste, isu mikroplastik pada air kemasan hingga kampanye anti plastik. Belum lagi dengan berbagai video yang beredar mengenai berbagai satwa yang menjadi korban dari ‘kecelakaan’ sampah plastik yang terbuang di laut. Baru-baru ini bahkan berbagai kota mulai menerbitkan peraturan yang melarang penggunaan kantong belanja plastik, seperti Bogor, Banjarmasin, Bandung, dan banyak lagi.

Hal tersebut turut memicu pertumbuhan gerakan-gerakan yang menawarkan solusi pengganti plastik yang layak diapresiasi, seperti gerakan membawa tas belanja sendiri, membawa botol minum sendiri, juga membawa kotak makan sendiri. Namun begitu efektivitas gerakan-gerakan tersebut tentu perlu dikaji lebih dalam mengingat pemakaian plastik yang sudah sangat masif dalam kehidupan manusia.

Plastik digunakan tak hanya sebagai kantong belanja, tapi juga sebagai kemasan, alat makan, kantong sampah, dan berbagai aplikasi plastik sekali pakai. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan bisakah kita hidup tanpa plastik?

Proses produksi plastik yang sejatinya merupakan bahan sisa olahan minyak bumi menjadikan plastik sebagai bahan yang paling hemat energi dan ramah lingkungan juga paling ekonomis. Fungsionalitas, fleksibilitas dan durabilitas yang sangat tinggi, memungkinkan plastik untuk menjaga makanan agar tetap awet selama proses penyimpanan dan distribusi. Karakteristik plastik yang sangat kuat juga cocok digunakan untuk membuat alat-alat rumah tangga, digunakan dalam industri penerbangan, elektronik, dlsb.

ecorasa - Solusi Holistik Dilema Kemasan F&B

Pemakaian plastik yang sangat masif tersebut ditambah dengan munculnya berbagai regulasi yang melarang penggunaan plastik menimbulkan kegalauan dalam masyarakat untuk mencari alternatif pengganti plastik. Terutama plastik sekali pakai yang berakhir di TPA dan bernilai ekonomis rendah sehingga menyulitkan pemulung untuk menjualnya ke pengepul daur ulang.

“Saya melihat masalah sampah plastik sudah semakin parah dan perlu gerakan nyata dari berbagai pihak, pelaku bisnis, pemerintah, komunitas, bahkan masyarakat umum untuk bersama-sama berperan aktif. Kalau kita lihat sampah-sampah plastik tersebut cukup didominasi oleh kemasan makanan sekali pakai. Untuk itu saya pikir, sudah waktunya perlu ada kemasan makanan dan minuman yang ramah lingkungan yang mudah terurai, tidak menjadi mikroplastik tapi luruh kembali ke bumi sehingga membentuk lingkaran produksi yang holistik. ecorasa hadir di masyarakat menawarkan solusi tersebut”, ujar Shivan, Direktur utama ecorasa, kemasan F&B yang ramah lingkungan dan mudah terurai.

Beliau menekankan bahwa plastik sudah sejak lama menjadi sahabat manusia modern tapi tidak bagi alam. Mulai dari proses urai yang membutuhkan waktu sepanjang 500 - 1000 tahun dan terfragmentasi menjadi mikroplastik yang membahayakan lingkungan.

ecorasa dengan Teknologi Oxium, Oxo-biodegradable Additive

ecorasa merupakan kemasan ramah lingkungan pertama di Indonesia yang mampu membuktikan bahwa produk-produknya dapat terurai kembali ke tanah menggunakan teknologi aditif pengurai plastik, Oxium. Oxium berfungsi sebagai pro-oksidan yang mampu memecah rantai karbon plastik yang panjang menjadi pendek dan mudah dimakan mikroba dan kembali ke tanah menjadi biomassa, H2O dan CO2. Hal ini memungkinkan kemasan makanan dan minuman ecorasa untuk terurai kembali ke tanah hanya dalam kurun waktu 5 tahun saja.

Pembuktian tersebut dilakukan melalui pengujian yang kredibel baik di Indonesia maupun di dunia internasional, diantaranya uji berstandar Amerika yaitu ASTM 6954, sertifikasi SNI Ekolabel Tipe 2, aman untuk makanan dan sudah dipatenkan di Amerika dan Singapura, meskipun teknologi tersebut merupakan 100% teknologi asli Indonesia yang ditemukan, dikembangkan dan diteliti di Indonesia.

Jadi sudah sepatutnya kita berbangga hati dengan inovasi dan kreasi anak bangsa yang sudah mendunia ini. ecorasa juga sudah menggandeng berbagai brand owner ternama yang memang sangat peduli terhadap lingkungan dan aktif mengkampanyekan gaya hidup ramah lingkungan seperti Kulina, XXI, Grand Hyatt, dll. Kalau mereka saja sudah pakai ecorasa, kamu kapan?

Informasi lebih lanjut mengenai ecorasa dapat menghubungi:

Widya

P. +62 812-1281-1876 | E. hello@ecorasa.id


Let's Return Plastic To Earth

Dibandingkan dengan bahan material tradisional seperti kulit, kayu, karet, logam, dan lainnya, Plastik merupakan material yang paling umum digunakan dalam keseharian masyarakat modern. Tak hanya karena memiliki berbagai keunggulan seperti kuat, ringan, mudah dibentuk, dan tidak mudah pecah, tapi juga tahan karat.

Banyak produk yang bisa dihasilkan dari material ini mulai dari kemasan makanan dan minuman, perabotan rumah tangga, mainan anak-anak, peralatan tulis, bahkan hingga komponen kendaraan bermotor atau listrik. Namun sayangnya plastik membutuhkan waktu yang cukup lama yakni 500 hingga 1000 tahun untuk dapat. Maka tak heran jika sampah plastik merupakan penyebab utama timbulan sampah dan menjadi masalah dunia.

Seiring berjalannya waktu, penggunaan plastik sendiri terus meningkat setiap tahunnya diiringi dengan peningkatan konsumsi dari masyarakat. Peningkatan konsumsi ini menggiring kita pada peningkatan limbah dari plastik itu sendiri.

 Seperti yang sudah lama kita ketahui bahwa ada acara untuk mengurangi limbah plastik yakni Reduce (pengurangan penggunaan plastik), Reuse (menggunakan ulang plastik seperti shopping bag), dan Recycle (mendaur ulang plastik). Adanya sebuah program pendaurulangan plastik merupakan salah satu cara untuk menangani limbah plastik. Namun ternyata hanya sebagian kecil dari limbah tersebut yang berhasil di daur ulang.

Terlebih dengan kondisi Indonesia yang luas program 3R saja tidak cukup untuk menangani limbah plastik yang ada. Sehingga diperlukan adanya solusi lain untuk penanganan limbah plastik ini salah satunya adalah dengan mempercepat proses penguraian plastik itu sendiri atau bisa disebut sebagai Return to Earth yang merupakan ekstensi dari program 3R yang sudah berjalan.

Solusi yang tepat untuk dapat melaksanakan program Return to earth adalah dengan menggunakan plastik yang lebih mudah terurai atau biasa disebut sebagai plastik ramah lingkungan.

Contoh plastik ramah lingkungan adalah plastik bio-based seperti ecoplas yang terbuat dari dasar starch (tepung) dari singkong yang merupakan produk asli Indonesia. Selain itu bisa juga dilakukan penambahan zat additive dalam produksi plastik agar menjadi lebih mudah terurai seperti penambahan zat oxo-biodegradable.

Dengan adanya plastik ramah lingkungan, rantai penguraian plastik yang sebelumnya bisa mencapai 500 hingga 1000 tahun dapat dipotong menjadi 2 tahun saja. Cara ini dapat dibilang cukup efektif karena dapat mengurangi penumpukan sampah berkali-kali lipat dibandingkan dengan plastik konvensional.

 

Teknologi Greenhope menjadi solusi dari pencegahan sampah plastik, kapan lagi kalau bukan sekarang?

Teknologi Greenhope menjadi solusi dari pencegahan sampah plastik, kapan lagi kalau bukan sekarang?

Pada 27 Februari 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyelenggarakan  Workshop Pengelolaan Sampah di Pantai dan Laut di Hotel Borobudur (Jakarta) yang dibuka langsung oleh Ibu Siti Nurbaya Bakar selaku Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Acara tersebut juga dihadiri oleh Bapak Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Maritim beserta 200 pejabat daerah bupati dan walikota se-Indonesia. Menteri Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa sampah laut merupakan tanggung jawab bersama. Sehingga beliau mengupayakan prinsip revolusi mental untuk merubah perilaku masyarakat Indonesia yang tidak hanya bergantung pada pemulung dan petugas kebersihan dalam mengelola sampah. Beliau juga berterima kasih terhadap pemerintah daerah, perusahan, aktivis, dan semua elemen yang berperan aktif dalam melakukan kampanye dan aktivitas terkait isu pengelolaan sampah.

KLHK juga mendatangkan pakar dari Jepang, Korea Selatan, Denmark, Swedia dan Jerman untuk berbagi informasi mengenai penanganan sampah di negara masing-masing. Teknologi penanganan sampah akan berbeda pada setiap negara, karena hal ini tergantung dari teknologi dan sumberdaya yang ada. Jepang menggunakan incenerator untuk pembakaran sampah yang dikonversi menjadi energi. Begitupun dengan negara yang lain yaitu Denmark, Swedia, dan Jerman. Sedangkan di Korea Selatan, negara tersebut menerapkan prinsip Ecotown, yaitu strategi penumbuhan ekonomi baru sekaligus menyelesaikan masalah sampah. Namun, langkah utama yang dilakukan oleh negara maju tersebut adalah tindakan pencegahan dengan melarang pemakaian plastik non-degradable dan menerapkan bea cukai pada plastik. Metode landfill juga diterapkan di negara Jerman namun dalam persentase yang kecil, dimana gas yang dihasilkan juga dimanfaatkan untuk energi.

Bapak Sugianto Tandio sebagai narasumber menambahkan bahwa Indonesia pada dasarnya telah memiliki teknologi yang mampu berdampak terhadap pengurangan sampah plastik, yaitu Oxium dan Ecoplas. Teknologi Oxium yang merupakan aditif pada plastik akan membantu proses degradasi menjadi 2-5 tahun. Sedangkan Ecoplas yang terbuat dari tepung singkong tentu saja tidak akan mencemari lingkungan karena terbuat dari bahan alami. Bapak Sugianto juga menambahkan bahwa adanya sampah plastik yang terdapat di laut adalah sebuah kecelakaan, karena tempat pembuangan sampah yang sebenarnya adalah TPS (Tempat Pembuangan Sampah) / landfill. Disamping itu, sampah plastik tidak bisa diatasi hanya dengan penggunaan teknologi yang lebih baik, namun juga diiringi dengan kesadaran dan perubahan gaya hidup ramah lingkungan. Prinsip 4R (Reduce, Reuse, Recycle, dan Return to Earth) harus ada di setiap individu masyarakat Indonesia. Dengan begitu, Indonesia bebas sampah 2020 akan terwujud.

Comment

PROSES DEGRADASI PADA OXIUM

Plastik dengan teknologi oxo-biodegradable saat ini sedang mendapat banyak sorotan. Meskipun bisa dikatakan bahwa teknologi tersebut bukanlah teknologi yang relatif baru, namun masih banyak kesalahpahaman yang muncul karena kurangnya informasi/sosialisasi mengenai definisi teknologi oxo-biodegradable.

Oxo-biodegradable merupakan proses degradasi yang diinisiasi oleh termal, cahaya matahari dan proses oksidasi. Oxium, merupakan aditif yang dicampur ke dalam plastik agar dapat mempercepat proses degradasi plastik dalam kurun waktu 2 hingga 5 tahun. Proses penguraian yang terjadi tidak hanya terurai melalui proses oxo, tetapi juga terdegradasi melalui proses bio. Oxium menjadi pionir teknologi oxo-biodegradable buatan Indonesia dan telah dipatenkan di Amerika Serikat, Singapura, dan Indonesia, yang sejak awal terbukti efektif (melalui pengujian terukur berstandar internasional seperti ASTM D5208, D3826, D6954).

Fragmentasi vs Degradasi

Banyak kebingungan yang terjadi pada masyarakat mengenai proses degradasi plastik berteknologi oxo-biodegradable. Berbagai pihak beranggapan bahwa plastik berteknologi oxo-biodegradable membuat plastik hanya terurai secara fisik menjadi mikroplastik, sehingga diragukan keabsahannya sebagai plastik ramah lingkungan. Mikroplastik yang muncul dari fragmentasi plastik sering dikatakan sebagai penyebab rusaknya ekosistem biota laut yang jika termakan manusia menimbulkan isu kesehatan.

Pada plastik berteknologi Oxium, proses degradasi terjadi dalam dua tahapan, yaitu secara oksidasi kemudian secara biodegradasi. Di tahap oksidasi dengan bantuan panas, sinar matahari, tekanan-tekanan lainnya yang terjadi di alam, rantai molekul hidrokarbon plastik dan kimia yang sangat panjang mengalami pemutusan sehingga berat jenis plastik tersebut juga turun drastis. Degradasi ini sangat berbeda dengan fragmentasi, dimana pada fragmentasi hanya terjadi pemecahan secara fisik.

Setelah tahap oksidasi tersebut terjadi, plastik bukan lagi plastik tetapi menjadi partikel alami yang dapat dimakan mikroba. Mikroba akan memakan dan mengolah plastik yang telah teroksidasi ke tahap biodegradasi sehingga menjadi CO2, H2O dan biomassa. Sisa biomassa sudah diuji untuk dimakan cacing, menanam tanaman tomat, juga di dalam air dan terbukti tidak beracun sama sekali.

Hasil uji di atas juga diperkuat oleh banyaknya sertifikasi dan penghargaan yang diterima Oxium, diantaranya Sertifikat SNI Ekolabel Tipe 1 untuk kantong belanja ramah lingkungan yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sertifikat Halal, Sertifikat Green Label Singapore, juga Penghargaan dan Sertifikasi Green Label Indonesia yang dikeluarkan oleh InSWA (Indonesian Solid Waste Association), Penghargaan 103 Inovasi Paling Perspektif – 2011 oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Comment

Comment

Sosialisasi Program Monitoring Bersama KLHK, InSWA dan YPBI

Pada 9 Februari 2017 lalu, Greenhope bersama Yayasan PERISAI/ Indonesian Solid Waste Association (InSWA) dan Yayasan Peduli Bumi Indonesia (YPBI) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerjasama meluncurkan Program Monitoring Plastik Mudah terurai Ekolabel Type 1 ber-SNI di Jakarta Pusat. Kegiatan ini merupakan bentuk komitmen Greenhope untuk berkolaborasi bersama LSM mengelola sampah plastik yang dikatakan oleh berbagai pihak sebagai akar permasalahan munculnya bencana banjir, longsor, hingga ketidak seimbangan ekosistem biota laut dan darat. Program ini dilaksanakan dengan melakukan monitoring terhadap produk converter yang sudah menggunakan plastik mudah terurai berteknologi Oxium.

Greenhope merasa optimis jika penggunaan plastik mudah terurai dilaksanakan oleh berbagai pihak, maka akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pengurangan penimbunan sampah plastik di masyarakat. Karenanya Greenhope merasa penting untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan teknologi Oxium dan Ecoplas dari hulu ke hilir, dengan membuat program monitoring. Sosialisasi program monitoring juga bertujuan untuk menciptakan sumber informasi wadah antara Greenhope bersama LSM dan perusahaan converter dalam informasi dalam memahami pentingnya menjalankan program yang sustainable dan berkala.

Menanggapi sosialisasi Program Monitoring ini, Bapak Noer Adi Wardoyo (Kepala Pusat Standardisasi Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI)  sangat mendukung adanya program monitoring sehingga claim ramah lingkungan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya program monitoring ini lanjut beliau, sekaligus bisa menjadi sarana dalam memberikan advokasi untuk keberlanjutan bisnis dari perusahaan yang telah menjalin kerjasama dengan Greenhope dan NGO. KLHK pun akan mencanangkan program penggunaan kantong plastik mudah terurai di setiap instansi pemerintahan.

Salah satu bentuk komitmen dalam menjalankan Program Monitoring adalah dengan menetapkan label pada plastik yang telah menggunakan teknologi Oxium. Penggunaan label yang telah ditetapkan juga harus terkendali, mengikuti hukum dan aturan main yang berlaku. Label  yang telah ditetapkan tersebut adalah, setiap converter wajib mencantumkan tiga logo yaitu Logo SNI Ekolabel 1, Logo Oxium berlisensi dan Logo NGO (YPBI dan InSWA) seperti terlampir di bawah ini:

Label-Program-Monitoring.jpg

Teknis monitoring yang dilakukan adalah dengan pengambilan sampel dari converter, retailer dan kantong plastik yang beredar di lapangan secara acak. Setelah semua sampel terkumpul kemudian dilakukan pengujian di laboratorium untuk menganalisa jumlah Oxium yang digunakan. Hasil analisa tersebut akan disusun dalam bentuk laporan, artikel maupun surat penghargaan kepada converter yang telah menggunakan Oxium dengan dosis yang tepat maupun lebih. Sedangkan untuk converter yang kedapatan menggunakan dosis yang tidak sesuai, akan diberikan laporan dan pembinaan untuk bersama-sama melakukan pengontrolan produksinya.

Sosialisasi Program Monitoring ini secara keseluruhan mendapat sambutan yang baik dari para peserta. Mereka mendukung adanya penggunaan plastik mudah terurai dan mendukung program monitoring yang dijalankan. Hanya saja, perlu adanya kesadaran dari masyarakat dan sebagian besar pengusaha flexible packaging lainnya untuk bersama menyelesaikan masalah lingkungan kita. Mari kita bersama-sama menyelesaikan masalah sampah dengan menggunakan plastik mudah terurai ber-Ekolabel type 1 yang ber-SNI dengan bijak!

Comment